Selasa, 16 Juli 2013

RENUNGAN TENTANG COBAAN

Oleh Jajang Suryana


Seringkali orang beranggapan bahwa cobaan itu adalah kesengsaraan saja. Ketika seseorang dilanda kesulitan, kerugian, kebangkrutan, kehilangan anggota keluarga, dan sejenisnya, orang tersebut kerap disebut “sedang menghadapi cobaan”. Kebanyakan kita juga demikian. Ketika kita merasakan aneka kesulitan, tanggapan kita adalah berupa do’a-do’a permohonan kepada Allah supaya segera bisa terlepas dari kesulitan tersebut.

Memang, di dalam Alqur-an ditegaskan, manusia itu akan dicoba dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.

 “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira untuk orang-orang yang sabar”
(Q.S. Al-Baqarah: 155)

Pada ayat yang lain Allah menyebutkan bahwa manusia akan dicoba juga dengan harta dan anak-anak.

 “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu. Di sisi Allahlah pahala yang besar” (Q.S. At-Taghaabuun: 15)

Begitulah, ketika cobaan yang berupa kesulitan itu datang, menimpa kita, kita merasa bahwa itulah cobaan. Itulah ujian dari Allah. Dengan cobaan yang berupa kesulitan itu, rata-rata manusia menyadari bahwa semua kesulitan itu datang dari Allah. Oleh karena itu, ketika seseorang menghadapi kesulitan: keluhan, rintihan, permohonan, pengaduan, dan sejenisnya, kerap sekali ditujukan kepada Allah. Seseorang yang sedang menghadapai cobaan berupa kesedihan, selalu merasa bahwa dia paling sengsara, paling menderita, bahkan seolah-olah tidak lagi diperhatikan oleh Allah. Kesulitan itu selalu dirasakan sebagai “kesulitan paling berat, orang lain tidak ada yang mengalami hal yang lebih berat dari kesulitan kita”.

Sebaliknya, ketika cobaan lain yang berupa kesenangan kita dapatkan. Masya Allah, kita cenderung merasakan bahwa kesenangan, keberhasilan, keberuntungan, kemakmuran, dan sejenisnya, adalah “hasil usaha sendiri”. Kesuksesan itu dirasakan seolah-olah tidak pernah melibatkan saham orang lain. Yang lebih buruk lagi, dirasakan seolah-olah tidak terkait lagi dengan anugerah Allah Swt.

Periksalah ayat Alqur-an yang bercerita tentang perilaku orang terkaya sehingga namanya terkait dengan masalah harta: Qarun. Qarun adalah mansuia yang diberi cobaan dengan melimpahnya harta. Harta yang dia miliki, diakui sebagai hasil usahanya sendiri. Orang lain tidak memiliki saham, apalagi hak atas hartanya. Hingga Allah pun sebagai Yang Maha Pemberi, dianggap tak ada keterkaitan dengan harta Qarun.
  
“Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya pembendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: ‘Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri’ ”
(Q.S. Al-Qashash: 76).

Cobaan berupa harta yang banyak, sering menjadikan manusia merasa sombong. Perhatikan jawaban Qarun:
 
 “Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku’. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan ummat-ummat sebelumnya yang lebih kuat dari mereka, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada mereka yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka” (Q.S. Al-Qashash: 78)

Cobaan kekayaan, memang, seringkali disertai dengan rasa sombong dan kata-kata yang tak terkendali. Paling tidak, kita sering mendengar ungkapan: “Meminta kepada si A harus kuat dengan omongannya, nanti juga pasti kita diberi”. Ya, banyak orang kaya yang kemudian berperilaku keliru: suka memberi tetapi (tanpa disadari) dilengkapi dengan ucapan yang kurang baik. Perilaku seperti itu, biasanya tampak pada seorang kakek atau nenek kepada cucunya. Ada istilah dalam bahasa Sunda yang sering diterapkan kepada kondisi seperti itu: “hambur bacot, murah congcot”. Ungkapan tersebut berarti: “Banyak omongan jelek, tetapi gampang memberi”. Anehnya, kondisi orang yang demikian seringkali menjadi bahan obrolan kekaguman. Entah, mungkin, dibandingkan dengan seseorang yang kaya tetapi pelit seperti Qarun, lebih baik seseorang yang kaya, suka memberi, walaupun suka menyampaikan ucapan yang menyakitkan hati.


Dalam konsep agama Islam ada ketentuan sejalannya perbuatan dengan perkataan. Seseorang yang suka memberi, dermawan, seharusnya dibarengi dengan baik ucapan. Perhatikan salah satu ayat Alqur-an berikut ini:
 “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada shadaqah yang yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun” (Q.S. Al-Baqarah: 263)


 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, bersihlah batu itu dari tanah. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (Q.S. Al-Baqarah: 264).

Yang harus menjadi perhatian kita adalah ancaman Allah untuk orang-orang yang suka mengumpat serta suka mengumpulkan dan menghitung-hitung harta. Perhatikan surat Al-Humazah:


1) “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela;
2) yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya (karena kikir);
3) dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya;
4) sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam neraka
Huthamah” (Q.S. Al-Humazah: 1-4)

Cobaan kekayaan, keberhasilan, kemakmuran, sekali lagi, kerap meninabobokan hati sehingga seseorng itu lupa kepada Allah. Agak berbeda dengan cobaan yang berupa kesulitan, kesedihan, kekurangan, kemelaratan; cobaan ini cenderung membawa manusia sadar akan keserbaterbatasan kemampuan diri sebagai manusia. Akhirnya, kondisi hidup yang penuh ketidakmampuan tadi membawa seseorang ingat kepada Yang Maha Kaya, Yang Maha Pemberi, Allah Swt, dalam bentuk rintihan, permohonan, dan do’a. Tetapi, ada juga di antara cobaan kesulitan itu yang digambarkan oleh Nabi Saw mengarah kepada kekufuran. Yang pasti, cobaan apa pun yang kita hadapi, kesiapan kitalah yang menjadi penentunya: akankah cobaan itu kemudian menjadikan kita lupa kepada Allah, bahkan menempatkan Allah sebagai “lawan”, atau mengantarkan kita kepada kesadaran bahwa Allahlah tempat mengadu dan menyatakan syukur.


Selamat menunaikan ibadat shaum
Ramadhan 1434 H