Oleh Jajang Suryana
Seringkali orang beranggapan bahwa cobaan itu adalah kesengsaraan saja.
Ketika seseorang dilanda kesulitan, kerugian, kebangkrutan, kehilangan anggota
keluarga, dan sejenisnya, orang tersebut kerap disebut “sedang menghadapi
cobaan”. Kebanyakan kita juga demikian. Ketika kita merasakan aneka kesulitan,
tanggapan kita adalah berupa do’a-do’a permohonan kepada Allah supaya segera
bisa terlepas dari kesulitan tersebut.
Memang, di dalam Alqur-an ditegaskan, manusia itu akan dicoba dengan
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira untuk orang-orang yang sabar”
(Q.S. Al-Baqarah: 155)
(Q.S. Al-Baqarah: 155)
Pada ayat yang lain Allah menyebutkan bahwa manusia akan dicoba juga
dengan harta dan anak-anak.
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah
cobaan bagimu. Di sisi Allahlah pahala yang besar” (Q.S. At-Taghaabuun: 15)
Begitulah, ketika cobaan yang berupa kesulitan itu datang, menimpa kita,
kita merasa bahwa itulah cobaan. Itulah ujian dari Allah. Dengan cobaan yang
berupa kesulitan itu, rata-rata manusia menyadari bahwa semua kesulitan itu
datang dari Allah. Oleh karena itu, ketika seseorang
menghadapi kesulitan: keluhan, rintihan, permohonan, pengaduan, dan sejenisnya,
kerap sekali ditujukan kepada Allah. Seseorang yang sedang menghadapai cobaan
berupa kesedihan, selalu merasa bahwa dia paling sengsara, paling menderita,
bahkan seolah-olah tidak lagi diperhatikan oleh Allah. Kesulitan itu selalu
dirasakan sebagai “kesulitan paling berat, orang lain tidak ada yang mengalami
hal yang lebih berat dari kesulitan kita”.
Sebaliknya,
ketika cobaan lain yang berupa kesenangan kita dapatkan. Masya Allah, kita
cenderung merasakan bahwa kesenangan, keberhasilan, keberuntungan, kemakmuran,
dan sejenisnya, adalah “hasil usaha sendiri”. Kesuksesan itu dirasakan
seolah-olah tidak pernah melibatkan saham orang lain. Yang lebih buruk lagi,
dirasakan seolah-olah tidak terkait lagi dengan anugerah Allah Swt.
Periksalah ayat
Alqur-an yang bercerita tentang perilaku orang terkaya sehingga namanya terkait
dengan masalah harta: Qarun. Qarun adalah mansuia yang diberi cobaan dengan
melimpahnya harta. Harta yang dia miliki, diakui sebagai hasil usahanya
sendiri. Orang lain tidak memiliki saham, apalagi hak atas hartanya. Hingga
Allah pun sebagai Yang Maha Pemberi, dianggap tak ada keterkaitan dengan harta
Qarun.
“Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa,
maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan
kepadanya pembendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh
sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika
kaumnya berkata kepadanya: ‘Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri’ ”
(Q.S.
Al-Qashash: 76).
Cobaan berupa
harta yang banyak, sering menjadikan manusia merasa sombong. Perhatikan jawaban
Qarun:
“Qarun
berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku’.
Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan
ummat-ummat sebelumnya yang lebih kuat dari mereka, dan lebih banyak
mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada mereka yang berdosa itu,
tentang dosa-dosa mereka” (Q.S. Al-Qashash: 78)
Cobaan kekayaan,
memang, seringkali disertai dengan rasa sombong dan kata-kata yang tak
terkendali. Paling tidak, kita sering mendengar ungkapan: “Meminta kepada si A
harus kuat dengan omongannya, nanti juga pasti kita diberi”. Ya, banyak orang
kaya yang kemudian berperilaku keliru: suka memberi tetapi (tanpa disadari)
dilengkapi dengan ucapan yang kurang baik. Perilaku seperti itu, biasanya
tampak pada seorang kakek atau nenek kepada cucunya. Ada istilah dalam bahasa Sunda yang sering
diterapkan kepada kondisi seperti itu: “hambur
bacot, murah congcot”. Ungkapan tersebut berarti: “Banyak omongan jelek,
tetapi gampang memberi”. Anehnya, kondisi orang yang demikian seringkali
menjadi bahan obrolan kekaguman. Entah, mungkin, dibandingkan dengan seseorang
yang kaya tetapi pelit seperti Qarun, lebih baik seseorang yang kaya, suka
memberi, walaupun suka menyampaikan ucapan yang menyakitkan hati.
Dalam konsep
agama Islam ada ketentuan sejalannya perbuatan dengan perkataan. Seseorang yang
suka memberi, dermawan, seharusnya dibarengi dengan baik ucapan. Perhatikan
salah satu ayat Alqur-an berikut ini:
“Perkataan
yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada shadaqah yang yang diiringi
dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi
Maha Penyantun” (Q.S. Al-Baqarah: 263)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada
tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, bersihlah batu itu dari tanah.
Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (Q.S. Al-Baqarah: 264).
Yang harus
menjadi perhatian kita adalah ancaman Allah untuk orang-orang yang suka
mengumpat serta suka mengumpulkan dan menghitung-hitung harta. Perhatikan surat Al-Humazah:
1)
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela;
2)
yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya (karena kikir);
3)
dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya;
4)
sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam
neraka
Huthamah”
(Q.S. Al-Humazah: 1-4)
Cobaan kekayaan,
keberhasilan, kemakmuran, sekali lagi, kerap meninabobokan hati sehingga
seseorng itu lupa kepada Allah. Agak berbeda dengan cobaan yang berupa
kesulitan, kesedihan, kekurangan, kemelaratan; cobaan ini cenderung membawa
manusia sadar akan keserbaterbatasan kemampuan diri sebagai manusia. Akhirnya,
kondisi hidup yang penuh ketidakmampuan tadi membawa seseorang ingat kepada
Yang Maha Kaya, Yang Maha Pemberi, Allah Swt, dalam bentuk rintihan,
permohonan, dan do’a. Tetapi, ada juga di antara cobaan kesulitan itu yang
digambarkan oleh Nabi Saw mengarah kepada kekufuran. Yang pasti, cobaan apa pun
yang kita hadapi, kesiapan kitalah yang menjadi penentunya: akankah cobaan itu
kemudian menjadikan kita lupa kepada Allah, bahkan menempatkan Allah sebagai
“lawan”, atau mengantarkan kita kepada kesadaran bahwa Allahlah tempat mengadu
dan menyatakan syukur.