Rabu, 22 Maret 2017

PENDIDIKAN MASA KECIL: MASA PEMBELAJARAN NILAI YANG LENGKAP

Oleh Drs. Jajang Suryana, M.Sn.


Khutbah 27 Mei 2016
MASJID AL-‘ASHRI SINGARAJA







Hadirin Rahimakumullah,

Pendidikan masa kecil mulai lebih diperhatikan oleh pemerintah. Pendidikan formal yang disebut PAUD telah resmi sebagai bagian dari sistem pendidikan formal Indonesia. Tetapi, bukan berburuk sangka, apakah pendidikan dalam keluarga mulai dikurangi porsinya? Apakah karena banyak ibu bekerja sehingga anak-anak yang sebetulnya sangat membutuhkan kedekatan dengan orang tua, utamanya dengan seorang ibu, lebih percaya kepada lembaga formal ketimbang pembantu di rumah? Apakah anak-anak sudah sejak kecil harus belajar bersosialisasi agar hidupnya lebih baik sebagai mahluk sosial? Banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban melalui kegiatan penelitian mendalam.

Seberapa sering terkait dengan anak-anak kita beralasan klise: “Ah, biar saja, itu kan anak-anak!”. Atau, “Namanya juga anak-anak. Nanti juga mengerti sendiri kalau sudah besar!” Pernyataan sejenis, terutama yang ditujukan kepada persetujuan terhadap kondisi buruk atau salah yang dilakukan oleh anak, suatu waktu akan menuai hasilnya.

Pendidikan nilai, pendidikan tentang sesuatu yang terkait dengan hukum, kepada siapapun, termasuk anak-anak, harus disampaikan secara lengkap dan benar. Masalah anak belum bisa menerima semua nilai itu secara kesadaran, itu adalah hal yang wajar. Tetapi, ketika anak sejak kecil sudah diajari sesuatu yang keliru, yang salah, yang tidak lengkap, pengalaman masa kecil yang keliru itu akan meletak kuat dalam memorinya. Dalam kalimat hikmah kita ketahui ada pernyataan: “Atta’allum fishshighar kannaqshi ‘ala-alhajar” (pembelajaran pada masa kecil sama dengan mengukir di atas permukaan batu). Ukiran tersebut memang sulit dibuat, tetapi setelahnya, ukiran yang berhasil dibuat juga akan sangat sulit untuk dihilangkan. Jika pada masa konsepsi memori dan pengalaman anak dipenuhi dengan nilai-nilai yang keliru, yang tidak lengkap, yang menyimpang, nilai-nilai itulah yang akan menjadi basis data, menjadi acuan, ketika mereka melakukan sesuatu kelak.

Bukti nyata tentang hasil pendidikan masa kecil yang sulit diubah, bisa kita periksa pada kondisi kita. Rata-rata ummat Islam hafal bacaan surat-surat pendek melalui pembelajaran masa kecil. Mungkin mengaji di rumah, di mesjid, atau mungkin di sekolah TK dan SD/Diniyah. Hasil hafalan tadi terus melekat dalam ingatan karena setiap hari dibaca ulang. Bahkan di dalam shalat, membaca surat-surat pendek itu seperti sebuah keharusan. Ketika guru, siapapun yang menjadi guru ngaji, mengajar kurang fasih, ketidakfasihan bacaan itu akan menjadi milik murid sepanjang hidupnya. Contoh, pelafalan huruf dzal untuk kata sejenis fadzaalika, kerap kita dengar salah lafal menjadi fajaalika. Huruf lain yang cenderung salah baca mislanya shad (tertukar dengan bacaan sin atau tsa), ain (dengan alif), ta maftuuhah menjadi berbunyi desis huruf tsa di ujungnya, dan masih banyak lagi.

Misalnya cara membaca ujung surat Alfiil: “Faja’alahum ka’ashfim-ma-kuul”. Kata ma-kuul sering dibaca ma’kuul (hamzah diganti dengan ain). Saya tidak menemukan kosa kata ‘akala dalam kamus bahasa Arab. Yang ada kata‘aqala, aqlun, yang sering kita sebut dalam bahasa Indonesia dengan akal. Akhir surat Alfiil itu bercerita tentang rusaknya pasukan gajah yang dikomandoi Abrahah, seperti daun yang dimakan (akala) oleh ulat, bukan ‘akala atau ‘aqala. Banyak kata lainnya yang menyimpang dalam pelafalannya. Misalnya pembacaan ujung ayat-ayat yang huruf akhirnya ra: seperti walfajr, wal’ashr, yang kerap hilang pelafalan huruf ra-nya. Ketika anak belajar dan mendengarnya dari guru seperti pelafalan tak lengkap tersebut, hal itulah yang akan menjadi bahan simpanan mereka. Kita pun mendapatkan cara pelafalan itu dan menghafalnya hingga sekarang. Yang menambah kekeliruan kita adalah tidak pernah mau membuka lagi tulisan Alquran yang benar, karena menganggap sudah sangat dihafal ayatnya. Padahal, tahsin (upgrade, update, bahkan install ulang) sangat diperlukan, karena belajar sepanjang hayat itu adalah sistem pendidikan Islam, yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad saw jauh sebelum ilmuwan Barat menemukan the longlife education. 

Hadirin rahimakumullah,

Pada waktu shalat berjamaah, rata-rata takmir masjid menempatkan anak-anak berkelompok di belakang. Kita sudah sangat hafal, bagaimana cerita perilaku Nabi saw ketika shalat cucunya naik ke punggung. Artinya, cucu Nabi ada di samping Nabi ketika sedang shalat. Orang tua yang membawa anaknya ke mesjid sebagai bentuk pembelajaran awal, mestinya membimbing anak tersebut bagaimana tata cara shalat yang benar, bukan menempatkan anaknya dalam kelompok anak-anak. Bagaimana cara takbiratul ihram, ruku, sujud, duduk tawaruk, dan sebagainya diajarkan dengan cara teladan yang benar. Juga orang tua mengajari anaknya bagaiman cara berada dalam kumpulan orang yang sedang shalat berjamaah, agar anak-anak tahu tidak boleh lewat di depan orang yang sedang shalat, tidak boleh mengobrol ketika imam sedang khutbah, dan masih banyak bentuk pembelajaran penting lainnya yang harus disampaikan secara benar.   

Ketika datang bulan Ramadhan, orang tua berkewajiban menyampaikan nilai yang baik dan benar, bahwa shaum itu adalah dimulai dari terbit fajar hingga datang waktu maghrib. Oleh karena itu, pembelajaran yang benar, anak-anak dibiasakan shaum penuh waktu, sebagaimana adanya pelaksanaan shaum yang benar. Dalam lingkungan kita, kita kerap mendengar istilah shaum sampai zhuhur yang salah. Jika anak belajar sejak awal bahwa shaum itu boleh sampai zhuhur, maka itulah yang menjadi nilai yang benar tentang shaum dalam pikirannya. Atau banyak bentuk penyimpangan nilai lainnya yang kerap diajarkan kepada anak dengan alih-alih alasan: karena dia masih anak-anak!

Sudah pasti anak-anak belum bisa memenuhi nilai yang baik dan benar tentang hukum shalat, shaum, atau berperilaku di antara manusia lainnya. Itu hal yang wajar. Ketika anak belum bisa memenuhi hal itu, bagi mereka ada keringanan sikap. Minimal mereka telah tahu tentang batasan suatu hukum tertentu yang lengkap. Dan, bagi mereka yang mampu belajar memenuhi tuntutan, sebaiknya ada reward, ada penguatan yang diberikan kepada mereka. Minimal diberi jempol (istilah masa kini) atau kata-kata pujian. 


Hadirin rahimakumullah,

Allah menuntut kita, manusia, dengan berbagai bentuk tuntutan. Di samping tuntutan tersebut, ada juga janji-janji reward yang disertakan dalam tuntutan tersebut. Beberapa contoh tuntutan dan reward yang sudah sangat kita pahami: membaca Alquran dihitung jumlah huruf yang dibaca sebagai bahan penetapan rewardnya; setiap kebaikan akan dihargai oleh Allah dengan beberapa kali lipat kebaikan yang sama sebagai rewardnya, bisa 3, 7, 70, bahkan 700. Atau yang lebih menggiurkan, ketika Allah berjanji tentang perbuatan baik yang dilakukan pada Lailatul Qadr. Kegiatan baik pada malam itu dihargai dengan jumlah penghargaan yang setara dengan 1.000 bulan kebaikan yang sama (senilai dengan 2.500 tahun perbuatan baik). Itulah iming-iming terkait perbuatan baik selain janji tentang nikmat tertinggi yang tidak bisa dibanding-banding yaitu nikmat jannah, kelak.

Kemurahhatian Allah ketika manusia berbuat baik, seharusnya menjadi contoh bagaimana perilaku bermurah hati oleh manusia. Pada perbuatan baik yang dilakukan oleh anak-anak sebagai bentuk pembelajaran, memberi reward, memberi janji penghargaan, bisa dilakukan sebagai bentuk bujukan. Sama seperti yang dilakukan oleh Allah ketika membjuk manusia beriman yang kadar keimanannya masih harus dihargai dengan pujian, hadiah, dan sejenisnya. Tetapi, manusia-manusia yang tidak lagi berhitung pahala, perilaku ibadatnya tidak lagi mengejar jumlah-jumlah janji tadi. Mereka akan melakukan kegiatan ibadat dengan keihlasan sebagai mahluk yang sepantasnya mengikuti aturan dan perintah yang ditetapkan oleh Khaliqnya. Begitupun kepada anak-anak. Pada suatu waktu, ketika perilakunya tidak lagi bergantung kepada pujian, hadiah, dan reward tertentu, mereka akan melakukan kegiatan ibadat secara sadar sebagai bentuk kebutuhan harian.


Hadirin rahimakumullah,

Ketika orang-orang ribut di media sosial tentang perintah meluruskan shaf pada saat melaksanakan shalat, di situ ada keributan tambahan yang terkait dengan keharusan merapatkan mata kaki dan bahu. Keributan tambahan lainnya adalah terkait dengan alasan renggangnya shaf yang dihubungkan dengan akan adanya pengisi ruang longgar tersebut, yaitu hadirnya syaitan yang mengisi ruang longgar dalam shaf. Ada balasan tanggapan dari orang-orang tertentu yang merasa perlu membahasnya dengan cara yang lucu, yaitu bersyukur syaitan bisa hadir di mesjid mengisi ruang kosong shaf. Katanya, “syukurlah, berarti syaitan sudah insyaf, bisa datang ke mesjid dan ikut shalat mengisi bagian shaf yang kosong”. Iblis pemilik sifat syaithoniyah itu mahluk halus. Tanpa kerenggangan ruang pun bisa hadir di sekitar manusia, bahkan di dalam hati manusia.

Syaitan itu sifat Iblis. Oleh karena itu, dalam surat Annaas disebutkan oleh Allah:

 Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang bisa bersembunyi,
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
dari (golongan) jin dan manusia
(Q.S. An-Naas: 4 - 6)

Sifat syaithoniyah milik Iblis itu bisa muncul pada golongan jin maupun manusia. Ketika manusia mulai renggang kendali dzikirnya kepada Allah, di situlah sifat syaitan mulai mengganggu.

Hadirin rahimakumullah,

Isi hadits Nabi saw yang kerap menjadi bahan perbincangan adalah hadits yang artinya seperti berikut:

“Luruskanlah shaf-shaf, sejajarkanlah pundak dengan pundak, isilah bagian yang masih renggang, bersikap lembutlah terhadap lengan teman-teman kalian (ketika mengatur shaf), dan jangan biarkan ada celah untuk (dimasuki oleh) syaithan. Barangsiapa yang menyambung shaf maka Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya), dan barangsiapa yang memutus shaf maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya).” 
[HR Abu Daud (666). Hadits shahih.]

Memang ada sejumlah hadits Nabi saw dengan matan yang berbeda tetapi isinya sama, yang kerap dijadikan pedoman dalam perintah meluruskan shaf shalat. Misalnya perintah dalam pernyataan:

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat”.

Bentuk perintah lainnya:
  
“Luruslah kalian dan kalian berselisih. Lantaran itu, hati-hati kalian akan berselisih”

 “Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk menegakkan shalat”


“Tegakkanlah shaf-shaf kalian dan rapatkan karena sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari balik punggungku”


Hadirin rahimakumullah,

Tentang iblis atau syaitan yang hadir di mesjid, tampaknya memang syaitan selalu ada di mesjid. Terbukti, ketika manusia-manusia muslim kecil yang masih dalam tahap belajar beriman dan belajar melaksanakan ibadat, mereka kerap diganggu oleh sifat syaitaniyah yang mulai mucul dalam perilaku mereka. Mereka selalu membuat keributan. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, orang tua juga kerap menggelari mereka sebagai biang ribut. Hati-hati, sebutan itu bisa menjadi doa. Akan lebih baik jika orang tua mendoakan agar para muslim-muslimat kecil itu menjadi calon orang-orang beriman yang sangat hebat, yang tidak mempan diganggu syaitan. Di tempat ibadat agama lain, kita bisa melihat, betapa para anak yang ikut belajar beribadat tampak manis-manis, tertib, dan taat aturan. Jangan lupa, mereka tidak diganggu sifat syaitan. Di tempat ibadat lain tidak ada sifat syaitan yang muncul sebagai pengganggu, karena mereka telah satu jalan, tak perlu diganggu lagi untuk menyimpang dari jalan yang disukai oleh syaitan. Jadi bersabarlah, jika anak-anak masih belum bisa memenuhi tata tertib shalat berjamaah, belum bisa penuh melaksanakan shaum, atau belum bisa berperilaku baik sebagai manusia yang penuh kesopanan dan taat aturan. Mereka, sama seperti kita, ketika kita masih kecil dulu.


Hadirin rahimakumullah,

Allah mengingatkan kita secara keras dalam surat AtTahrim:6, firmanNya:



Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. 
(Q.S. At-Tahriim: 6)

Pendidikan awal adalah tanggung jawab orang tua. Sekalipun ada lembaga-lembaga yang menyediakan sarana dan jasa kegiatan untuk melaksanakan pendidikan awal, tanggung jawab pendidikan tetap menjadi beban orang tua. Tanggung jawab mendidik anak, mendidik keluarga, rewardnya selain yang menyenangkan (qurrata a’yunin) adalah sesuatu yang juga tidak menyenangkan bahkan sangat menakutkan. Neraka yang dimaksud Allah dalam ayat 6 surat At-Tahrim, bisa berwujud neraka dunia di samping neraka yang sesungguhnya nanti. Jika orang tua tidak melaksanakan pendidikan awal yang benar kepada anak-anak, di dunia pun balikannya akan mulai dirasakan. Upaya memanaskan neraka dunia yang dilakukan oleh orang-orang yang menerima pendidikan awal secara salah bisa tampak dalam tampilan yang kasat mata di lingkungan kita. Akibatnya bukan hanya kena kepada keluarga saja, tetapi juga kepada orang lain yang ada di sekitarnya. Jangan lupa, di yaumil mahsyar akan ada tagihan-tagihan dari orang lain yang merasa dizholimi oleh kita dan keluarga kita. Mereka aka mengurangi jumlah timbangan amal baik kita sedikit demi sedikit. Sehingga, kebaikan yang pernah kita kumpulkan akan habis dikurangi oleh banyak penagih hutang. Naudzu billah.   


Hadirin Rahimakumullah,

Pendidikan di lingkungan keluarga berasas teladan rutin. Keluarga memiliki lebih banyak waktu untuk mendidik anak, dimulai lebih dini, bahkan dimulai dengan persiapan ketika orang tua akan memilih pasangan hidupnya. Tetapi, kondisi keluarga-keluarga bekerja telah meminimalkan anggapan terhadap kepentingan pendidikan akhlak di rumah. Pendidikan formal, dianggap oleh banyak orang tua yang sibuk, menjadi pilihan yang memberi banyak ketenangan bekerja bagi orang tua.

Dalam konsep agama Islam, lingkungn keluarga dianggap menjadi peletak dasar kepribadian seseorang. Oleh karena itu, pendidikan masa kecil, pendidikan dalam lingkungan keluarga, menjadi sangat penting. Proses belajar pada masa kecil itu butuh kehati-hatian, butuh waktu, butuh kebenaran konsep, yang hasilnya akan sangat menetap dalam ingatan seseorang. Ibarat tulisan yang telah digoreskan di atas permukaan batu, bekas pendidikan masa kecil akan tetap kuat memberi pengaruh kepada seseorang. Konsep pendidikan yang Islami adalah menyiapkan semua kondisi yang baik dimulai dari lingkungan keluarga.

Semua manusia dilahirkan dalam kondisi yang sama. Allah menetapkan manusia dalam kondisi fitrah. Kondisi itu adalah dua kondisi pilihan yang bisa diambil oleh manusia sebagai bentuk kebebasan memilih, yang hanya diberikan kepada manusia saja. Salah satu kondisi fitrah yang telah diberikan Allah kepada setiap manusia adalah sifat manusia yang gampang berubah mengikuti pengaruh lingkungannya. Ketika manusia fitrah lahir, lingkungan akan segera memberi pengaruh kepada setiap yang lahir itu. Ada yang mengarahkan kepada kondisi keyahudian, kenashronian, maupun kemajusian. Orang tualah yang menjadi lingkungan awal untuk setiap yang lahir. Artinya, orang tualah yang akan membawa anak yang baru lahir menjadi Yahudi, Nashrani, maupun Majusi, seperti yang telah ditegaskan dalam salah satu isi hadits nabi Muhammad saw tadi. Bahkan dalam pernyataan lain tentang orang tua, “Ibu adalah sekolah awal (madrasatul uulaa), sekolah yang utama”. Modal utama manusia adalah yang telah disiapkan oleh Allah sebagai kondisi asali yang paling suci yaitu berserah diri kepada ketentuan Allah, yaitu kondisi Islam.

Hadirin Rahimakumullah,

Peringatan lain yang harus diingat oleh orang tua adalah Rasulullah pernah memberi gambaran yang tegas tentang keberadaan ummat:


 “Didiklah anak-anakmu karena mereka itu dijadikan buat menghadapi zaman yang sama sekali lain dari zamanmu ini”

Jika ummat Islam tetap tidak mau mengubah kondisi dirinya, boleh jadi, suatu waktu ummat Islam akan kehilangan satu generasi. Pada saat krisis seperti sekarang ini, telah muncul rasa kekhawatiran tentang generasi yang “hilang”. Generasi yang hilang dimaksud adalah generasi yang tidak memiliki peran apapun di dalam lingkungannya. Mereka hanya bagaikan busa di atas permukaan gelombang laut yang luas. Mereka tidak memiliki peran penting apapun dalam kehidupan dunia. Mereka hanya ada, sekalipun banyak jumlahnya, tetapi tidak pernah dianggap ada! Kondisi tersebut, oleh Allah disebutkan di dalam Alqur-an sebagai dzurriyyatan dli’aafan, generasi yang lemah. Naudzu billah.

Menjelang bulan Ramadhan, marilah kita niatkan dan siap-siap melakukan tahsin, perbaikan diri, dalam mendidik diri, mendidik anak, memperbaiki hafalan Alquran, meluruskan kembali tatacara shalat, dengan upaya melanjutkan tugas kewajiban belajar kita sebagai ummat Islam, yaitu belajar sepanjang hayat, menyempurnakan hasil pendidikan masa kecil yang pernah kita dapatkan!