Oleh
Drs. Jajang Suryana, M.Sn.
Khutbah
27 Mei 2016
MASJID
AL-‘ASHRI SINGARAJA
Hadirin
Rahimakumullah,
Pendidikan masa
kecil mulai lebih diperhatikan oleh pemerintah. Pendidikan formal yang disebut
PAUD telah resmi sebagai bagian dari sistem pendidikan formal Indonesia.
Tetapi, bukan berburuk sangka, apakah pendidikan dalam keluarga mulai dikurangi
porsinya? Apakah karena banyak ibu bekerja sehingga anak-anak yang sebetulnya
sangat membutuhkan kedekatan dengan orang tua, utamanya dengan seorang ibu, lebih
percaya kepada lembaga formal ketimbang pembantu di rumah? Apakah anak-anak
sudah sejak kecil harus belajar bersosialisasi agar hidupnya lebih baik sebagai
mahluk sosial? Banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban melalui kegiatan
penelitian mendalam.
Seberapa sering
terkait dengan anak-anak kita beralasan klise: “Ah, biar saja, itu kan
anak-anak!”. Atau, “Namanya juga anak-anak. Nanti juga mengerti sendiri kalau
sudah besar!” Pernyataan sejenis, terutama yang ditujukan kepada persetujuan
terhadap kondisi buruk atau salah yang dilakukan oleh anak, suatu waktu akan
menuai hasilnya.
Pendidikan
nilai, pendidikan tentang sesuatu yang terkait dengan hukum, kepada siapapun,
termasuk anak-anak, harus disampaikan secara lengkap dan benar. Masalah anak
belum bisa menerima semua nilai itu secara kesadaran, itu adalah hal yang
wajar. Tetapi, ketika anak sejak kecil sudah diajari sesuatu yang keliru, yang
salah, yang tidak lengkap, pengalaman masa kecil yang keliru itu akan meletak
kuat dalam memorinya. Dalam kalimat hikmah kita ketahui ada pernyataan: “Atta’allum fishshighar kannaqshi ‘ala-alhajar”
(pembelajaran pada masa kecil sama dengan mengukir di atas permukaan batu).
Ukiran tersebut memang sulit dibuat, tetapi setelahnya, ukiran yang berhasil
dibuat juga akan sangat sulit untuk dihilangkan. Jika pada masa konsepsi memori
dan pengalaman anak dipenuhi dengan nilai-nilai yang keliru, yang tidak
lengkap, yang menyimpang, nilai-nilai itulah yang akan menjadi basis data,
menjadi acuan, ketika mereka melakukan sesuatu kelak.
Bukti nyata
tentang hasil pendidikan masa kecil yang sulit diubah, bisa kita periksa pada
kondisi kita. Rata-rata ummat Islam hafal bacaan surat-surat pendek melalui
pembelajaran masa kecil. Mungkin mengaji di rumah, di mesjid, atau mungkin di
sekolah TK dan SD/Diniyah. Hasil hafalan tadi terus melekat dalam ingatan
karena setiap hari dibaca ulang. Bahkan di dalam shalat, membaca surat-surat
pendek itu seperti sebuah keharusan. Ketika guru, siapapun yang menjadi guru
ngaji, mengajar kurang fasih, ketidakfasihan bacaan itu akan menjadi milik
murid sepanjang hidupnya. Contoh, pelafalan huruf dzal untuk kata sejenis fadzaalika,
kerap kita dengar salah lafal menjadi fajaalika.
Huruf lain yang cenderung salah baca mislanya shad (tertukar dengan bacaan sin atau tsa), ain (dengan alif), ta
maftuuhah menjadi berbunyi desis huruf tsa di ujungnya, dan masih banyak
lagi.
Misalnya cara membaca
ujung surat Alfiil: “Faja’alahum
ka’ashfim-ma-kuul”. Kata ma-kuul
sering dibaca ma’kuul (hamzah diganti
dengan ain). Saya tidak menemukan kosa kata ‘akala
dalam kamus bahasa Arab. Yang ada kata‘aqala,
aqlun, yang sering kita sebut dalam bahasa Indonesia dengan akal. Akhir
surat Alfiil itu bercerita tentang rusaknya pasukan gajah yang dikomandoi
Abrahah, seperti daun yang dimakan (akala) oleh ulat, bukan ‘akala atau ‘aqala. Banyak kata lainnya yang menyimpang dalam pelafalannya.
Misalnya pembacaan ujung ayat-ayat yang huruf akhirnya ra: seperti walfajr, wal’ashr, yang kerap hilang pelafalan huruf ra-nya. Ketika anak
belajar dan mendengarnya dari guru seperti pelafalan tak lengkap tersebut, hal
itulah yang akan menjadi bahan simpanan mereka. Kita pun mendapatkan cara
pelafalan itu dan menghafalnya hingga sekarang. Yang menambah kekeliruan kita
adalah tidak pernah mau membuka lagi tulisan Alquran yang benar, karena
menganggap sudah sangat dihafal ayatnya. Padahal, tahsin (upgrade, update,
bahkan install ulang) sangat
diperlukan, karena belajar sepanjang hayat itu adalah sistem pendidikan Islam,
yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad saw jauh sebelum ilmuwan Barat menemukan the longlife education.
Hadirin
rahimakumullah,
Pada waktu
shalat berjamaah, rata-rata takmir masjid menempatkan anak-anak berkelompok di
belakang. Kita sudah sangat hafal, bagaimana cerita perilaku Nabi saw ketika
shalat cucunya naik ke punggung. Artinya, cucu Nabi ada di samping Nabi ketika
sedang shalat. Orang tua yang membawa anaknya ke mesjid sebagai bentuk
pembelajaran awal, mestinya membimbing anak tersebut bagaimana tata cara shalat
yang benar, bukan menempatkan anaknya dalam kelompok anak-anak. Bagaimana cara
takbiratul ihram, ruku, sujud, duduk tawaruk, dan sebagainya diajarkan dengan
cara teladan yang benar. Juga orang tua mengajari anaknya bagaiman cara berada
dalam kumpulan orang yang sedang shalat berjamaah, agar anak-anak tahu tidak
boleh lewat di depan orang yang sedang shalat, tidak boleh mengobrol ketika
imam sedang khutbah, dan masih banyak bentuk pembelajaran penting lainnya yang
harus disampaikan secara benar.
Ketika datang
bulan Ramadhan, orang tua berkewajiban menyampaikan nilai yang baik dan benar,
bahwa shaum itu adalah dimulai dari terbit fajar hingga datang waktu maghrib.
Oleh karena itu, pembelajaran yang benar, anak-anak dibiasakan shaum penuh
waktu, sebagaimana adanya pelaksanaan shaum yang benar. Dalam lingkungan kita,
kita kerap mendengar istilah shaum sampai zhuhur yang salah. Jika anak belajar
sejak awal bahwa shaum itu boleh sampai zhuhur, maka itulah yang menjadi nilai
yang benar tentang shaum dalam pikirannya. Atau banyak bentuk penyimpangan
nilai lainnya yang kerap diajarkan kepada anak dengan alih-alih alasan: karena
dia masih anak-anak!
Sudah pasti anak-anak
belum bisa memenuhi nilai yang baik dan benar tentang hukum shalat, shaum, atau
berperilaku di antara manusia lainnya. Itu hal yang wajar. Ketika anak belum
bisa memenuhi hal itu, bagi mereka ada keringanan sikap. Minimal mereka telah
tahu tentang batasan suatu hukum tertentu yang lengkap. Dan, bagi mereka yang
mampu belajar memenuhi tuntutan, sebaiknya ada reward, ada penguatan yang diberikan kepada mereka. Minimal diberi
jempol (istilah masa kini) atau kata-kata pujian.
Hadirin
rahimakumullah,
Allah menuntut
kita, manusia, dengan berbagai bentuk tuntutan. Di samping tuntutan tersebut,
ada juga janji-janji reward yang disertakan dalam tuntutan tersebut. Beberapa
contoh tuntutan dan reward yang sudah sangat kita pahami: membaca Alquran
dihitung jumlah huruf yang dibaca sebagai bahan penetapan rewardnya; setiap
kebaikan akan dihargai oleh Allah dengan beberapa kali lipat kebaikan yang sama
sebagai rewardnya, bisa 3, 7, 70, bahkan 700. Atau yang lebih menggiurkan,
ketika Allah berjanji tentang perbuatan baik yang dilakukan pada Lailatul Qadr.
Kegiatan baik pada malam itu dihargai dengan jumlah penghargaan yang setara
dengan 1.000 bulan kebaikan yang sama (senilai dengan 2.500 tahun perbuatan
baik). Itulah iming-iming terkait perbuatan baik selain janji tentang nikmat
tertinggi yang tidak bisa dibanding-banding yaitu nikmat jannah, kelak.
Kemurahhatian
Allah ketika manusia berbuat baik, seharusnya menjadi contoh bagaimana perilaku
bermurah hati oleh manusia. Pada perbuatan baik yang dilakukan oleh anak-anak
sebagai bentuk pembelajaran, memberi reward, memberi janji penghargaan, bisa
dilakukan sebagai bentuk bujukan. Sama seperti yang dilakukan oleh Allah ketika
membjuk manusia beriman yang kadar keimanannya masih harus dihargai dengan
pujian, hadiah, dan sejenisnya. Tetapi, manusia-manusia yang tidak lagi
berhitung pahala, perilaku ibadatnya tidak lagi mengejar jumlah-jumlah janji
tadi. Mereka akan melakukan kegiatan ibadat dengan keihlasan sebagai mahluk
yang sepantasnya mengikuti aturan dan perintah yang ditetapkan oleh Khaliqnya.
Begitupun kepada anak-anak. Pada suatu waktu, ketika perilakunya tidak lagi
bergantung kepada pujian, hadiah, dan reward tertentu, mereka akan melakukan
kegiatan ibadat secara sadar sebagai bentuk kebutuhan harian.
Hadirin
rahimakumullah,
Ketika
orang-orang ribut di media sosial tentang perintah meluruskan shaf pada saat
melaksanakan shalat, di situ ada keributan tambahan yang terkait dengan
keharusan merapatkan mata kaki dan bahu. Keributan tambahan lainnya adalah
terkait dengan alasan renggangnya shaf yang dihubungkan dengan akan adanya
pengisi ruang longgar tersebut, yaitu hadirnya syaitan yang mengisi ruang
longgar dalam shaf. Ada balasan tanggapan dari orang-orang tertentu yang merasa
perlu membahasnya dengan cara yang lucu, yaitu bersyukur syaitan bisa hadir di
mesjid mengisi ruang kosong shaf. Katanya, “syukurlah, berarti syaitan sudah
insyaf, bisa datang ke mesjid dan ikut shalat mengisi bagian shaf yang kosong”.
Iblis pemilik sifat syaithoniyah itu mahluk halus. Tanpa kerenggangan ruang pun
bisa hadir di sekitar manusia, bahkan di dalam hati manusia.
Syaitan itu
sifat Iblis. Oleh karena itu, dalam surat Annaas disebutkan oleh Allah:
Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang bisa
bersembunyi,
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
dari (golongan) jin dan manusia
(Q.S. An-Naas: 4 - 6)
Sifat
syaithoniyah milik Iblis itu bisa muncul pada golongan jin maupun manusia.
Ketika manusia mulai renggang kendali dzikirnya kepada Allah, di situlah sifat
syaitan mulai mengganggu.
Hadirin
rahimakumullah,
Isi hadits Nabi
saw yang kerap menjadi bahan perbincangan adalah hadits yang artinya seperti
berikut:
“Luruskanlah shaf-shaf, sejajarkanlah
pundak dengan pundak, isilah bagian yang masih renggang, bersikap lembutlah
terhadap lengan teman-teman kalian (ketika mengatur shaf), dan jangan biarkan
ada celah untuk (dimasuki oleh) syaithan. Barangsiapa yang menyambung shaf maka
Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya), dan barangsiapa yang memutus shaf
maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya).”
[HR Abu Daud (666). Hadits shahih.]
Memang ada sejumlah hadits Nabi saw dengan matan yang berbeda tetapi isinya sama, yang kerap dijadikan pedoman dalam perintah meluruskan shaf shalat. Misalnya perintah dalam pernyataan:
“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk
kesempurnaan sholat”.
Bentuk perintah
lainnya:
“Luruslah kalian dan kalian berselisih. Lantaran itu,
hati-hati kalian akan berselisih”
“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya
meluruskan shaf termasuk menegakkan shalat”
“Tegakkanlah shaf-shaf kalian dan rapatkan karena
sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari balik punggungku”
Hadirin
rahimakumullah,
Tentang iblis
atau syaitan yang hadir di mesjid, tampaknya memang syaitan selalu ada di
mesjid. Terbukti, ketika manusia-manusia muslim kecil yang masih dalam tahap
belajar beriman dan belajar melaksanakan ibadat, mereka kerap diganggu oleh sifat
syaitaniyah yang mulai mucul dalam perilaku mereka. Mereka selalu membuat
keributan. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, orang tua juga kerap menggelari
mereka sebagai biang ribut. Hati-hati, sebutan itu bisa menjadi doa. Akan lebih
baik jika orang tua mendoakan agar para muslim-muslimat kecil itu menjadi calon
orang-orang beriman yang sangat hebat, yang tidak mempan diganggu syaitan. Di
tempat ibadat agama lain, kita bisa melihat, betapa para anak yang ikut belajar
beribadat tampak manis-manis, tertib, dan taat aturan. Jangan lupa, mereka
tidak diganggu sifat syaitan. Di tempat ibadat lain tidak ada sifat syaitan yang
muncul sebagai pengganggu, karena mereka telah satu jalan, tak perlu diganggu
lagi untuk menyimpang dari jalan yang disukai oleh syaitan. Jadi bersabarlah,
jika anak-anak masih belum bisa memenuhi tata tertib shalat berjamaah, belum
bisa penuh melaksanakan shaum, atau belum bisa berperilaku baik sebagai manusia
yang penuh kesopanan dan taat aturan. Mereka, sama seperti kita, ketika kita
masih kecil dulu.
Hadirin
rahimakumullah,
Allah
mengingatkan kita secara keras dalam surat AtTahrim:6, firmanNya:
Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.
(Q.S. At-Tahriim: 6)
Pendidikan awal
adalah tanggung jawab orang tua. Sekalipun ada lembaga-lembaga yang menyediakan
sarana dan jasa kegiatan untuk melaksanakan pendidikan awal, tanggung jawab
pendidikan tetap menjadi beban orang tua. Tanggung jawab mendidik anak,
mendidik keluarga, rewardnya selain yang menyenangkan (qurrata a’yunin) adalah sesuatu yang juga tidak menyenangkan bahkan
sangat menakutkan. Neraka yang dimaksud Allah dalam ayat 6 surat At-Tahrim,
bisa berwujud neraka dunia di samping neraka yang sesungguhnya nanti. Jika
orang tua tidak melaksanakan pendidikan awal yang benar kepada anak-anak, di
dunia pun balikannya akan mulai dirasakan. Upaya memanaskan neraka dunia yang
dilakukan oleh orang-orang yang menerima pendidikan awal secara salah bisa
tampak dalam tampilan yang kasat mata di lingkungan kita. Akibatnya bukan hanya
kena kepada keluarga saja, tetapi juga kepada orang lain yang ada di
sekitarnya. Jangan lupa, di yaumil mahsyar akan ada tagihan-tagihan dari orang
lain yang merasa dizholimi oleh kita dan keluarga kita. Mereka aka mengurangi
jumlah timbangan amal baik kita sedikit demi sedikit. Sehingga, kebaikan yang
pernah kita kumpulkan akan habis dikurangi oleh banyak penagih hutang. Naudzu
billah.
Hadirin
Rahimakumullah,
Pendidikan di lingkungan
keluarga berasas teladan rutin. Keluarga memiliki lebih banyak waktu untuk mendidik anak, dimulai
lebih dini, bahkan dimulai dengan persiapan ketika orang tua akan memilih pasangan
hidupnya. Tetapi, kondisi keluarga-keluarga bekerja telah meminimalkan anggapan
terhadap kepentingan pendidikan akhlak di rumah. Pendidikan formal, dianggap
oleh banyak orang tua yang sibuk, menjadi pilihan yang memberi banyak ketenangan bekerja bagi orang
tua.
Dalam konsep
agama Islam, lingkungn keluarga dianggap menjadi peletak dasar kepribadian
seseorang. Oleh karena itu, pendidikan masa kecil, pendidikan dalam lingkungan
keluarga, menjadi sangat penting. Proses belajar pada masa kecil itu butuh
kehati-hatian, butuh waktu, butuh kebenaran konsep, yang hasilnya akan sangat menetap dalam ingatan
seseorang. Ibarat
tulisan yang telah digoreskan di atas permukaan batu, bekas pendidikan masa
kecil akan tetap kuat memberi pengaruh kepada seseorang. Konsep pendidikan yang
Islami adalah menyiapkan semua kondisi yang baik dimulai dari lingkungan
keluarga.
Semua manusia dilahirkan dalam kondisi
yang sama. Allah menetapkan manusia dalam kondisi fitrah. Kondisi itu adalah
dua kondisi pilihan yang bisa diambil oleh manusia sebagai bentuk kebebasan
memilih, yang hanya diberikan kepada manusia saja. Salah satu kondisi fitrah
yang telah diberikan Allah kepada setiap manusia adalah sifat manusia yang
gampang berubah mengikuti pengaruh lingkungannya. Ketika manusia fitrah lahir, lingkungan
akan segera memberi pengaruh kepada setiap yang lahir itu. Ada yang mengarahkan kepada kondisi
keyahudian, kenashronian, maupun kemajusian. Orang tualah yang menjadi
lingkungan awal untuk setiap yang lahir. Artinya, orang tualah yang akan
membawa anak yang baru lahir menjadi Yahudi, Nashrani, maupun Majusi, seperti
yang telah ditegaskan dalam salah satu isi hadits nabi Muhammad saw tadi. Bahkan
dalam pernyataan lain tentang orang tua, “Ibu adalah sekolah awal (madrasatul uulaa), sekolah yang utama”.
Modal utama manusia adalah yang telah disiapkan oleh Allah sebagai kondisi
asali yang paling suci yaitu berserah diri kepada ketentuan Allah, yaitu
kondisi Islam.
Hadirin
Rahimakumullah,
Peringatan lain
yang harus diingat oleh orang tua adalah Rasulullah pernah memberi gambaran
yang tegas tentang keberadaan ummat:
“Didiklah anak-anakmu karena mereka itu dijadikan buat menghadapi
zaman yang sama sekali lain dari zamanmu ini”
Jika ummat Islam
tetap tidak mau mengubah kondisi dirinya, boleh jadi, suatu waktu ummat Islam akan
kehilangan satu generasi. Pada saat krisis seperti sekarang ini, telah muncul
rasa kekhawatiran tentang generasi yang “hilang”. Generasi yang hilang dimaksud
adalah generasi yang tidak memiliki peran apapun di dalam lingkungannya. Mereka
hanya bagaikan busa di atas permukaan gelombang laut yang luas. Mereka tidak
memiliki peran penting apapun dalam kehidupan dunia. Mereka hanya ada, sekalipun
banyak jumlahnya, tetapi tidak pernah dianggap ada! Kondisi tersebut, oleh
Allah disebutkan di dalam Alqur-an sebagai dzurriyyatan
dli’aafan, generasi yang lemah. Naudzu billah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar