Oleh Jajang Suryana
Malam Minggu, 27 Mei 2017 ini cukup
cerah. Berbeda dengan malam awal Ramadhan kemarin yang diwarnai oleh hujan yang
cukup deras. Malam kedua Ramadhan di sekitar Mesjid Al-‘Ashri tampak ramai.
Sepeda motor yang terparkir di sekitar mesjid cukup banyak. Artinya, jamaah
shalat Isya dan Tarawih kali ini jumlahnya banyak, seperti pada malam kesatu.
Alhamdulillah!
Pada malam kedua ini, imam dan
penceramah adalah Drs. H.M. Hidayat Abbas, wakil ketua MUI Kabupaten Buleleng. Tema
ceramah terkait dengan Shaum dan Pengendalian Diri. Inti dari
penyampaian ceramahnya terkait dengan beberapa hal:
1. Pengertian shaum secara lughawi
adalah al-imsaak, menahan. Secara syar’i, arti al-imsaak adalah
menahan diri dari makan, minum, hubungan suami-isteri, dan lain sebagainya yang
bisa membatalkan shaum secara syara, selama siang hari waktu shaum. Terkait
juga di dalamnya adalah menahan diri dari perkataan-perkataan yang sia-sia dan yang
mengundang pertengkaran serta semua perkataan yang diharamkan dan dimakruhkan
(sari dari hadits riwayat Bukhari dan Abu Dawud, sumber Fiqh Sunnah).
2. Ibadat shaum adalah pekerjaan
khusus, berbeda dengan pekerjaan ibadat lainnya. Oleh karena itu, Allah telah
menetapkan terkait dengan ibadat shaum bahwa “Ibadat Shaum adalah untuk-Ku,
Akulah yang akan menetapkan balasannya secara khusus” (Ashshiyaamu Lii, wa
Ana ajzii bihi). Intinya, shaum adalah ibadat mahluk yang paling disukai
oleh Allah (Khalik). Dan tentang kekhususan ibadat shaum adalah urusan riyaa.
Dalam pelaksanaan ibadat shaum, seseorang tidak mungkin menampakkan sifat
riyaa seperti dalam ibadat shalat, zakat, maupun hajji, karena hanya shaimin
dan Allah-lah yang tahu keberadaan ibadat shaum seseorang yang sebenarnya.
3. Shaum berkaitan dengan kualitas
hati (qalbu, mudhghah). Shaum adalah ibadat sirriyyah, ibadat yang
sangat pribadi, ibadat yang bertalian dengan kondisi hati. Oleh karena itu
ibadat shaum sangat bergantung kepada kualitas hati. Sementara itu, dalam
hadits disebutkan, “jika kondisi hati baik maka baiklah seluruh tubuh
seseorang, jika kondisi hati buruk (rusak-fungsi) maka buruklah seluruh komdisi
tubuh seseorang”.
Suasana shalat berjamaah Isya,
tarawih, dan Witir malam kedua di Mesjid Al-‘Ashri, agak berbeda dengan suasana
pada malam pertama. Suasana shalat berjamaah malam pertama terasa lebih tenang,
hening, tanpa batuk, tanpa obrolan dan teriakan anak-anak. Suasana malam kedua
terasa ada perubahan, pada saat shalat banyak terdengar suara batuk dan obrolan
anak-anak. Mudah-mudahan hal itu bukan perubahan yang akan meningkat, semakin
riuh oleh suara anak-anak yang sedang belajar ibadat shalat. Fungsi orang tua
yang seharusnya menjadi pembimbing anak-anak, yang menempatkan anak-anak di
sisi tempat shalatnya, belum bisa diprogramkan secara efektif. Orang tua lebih
mementingkan khusyuknya sendiri sehingga anak-anak dibiarkan jauh dari tempat
sujudnya. Padahal, anak-anak yang mau datang ke mesjid adalah modal dasar
kesukaan anak muda kepada mesjid. Jika anak-anak sering menyebabkan keributan,
hal itu mesti menjadi perhatian khusus semua orang tua yang memiliki anak-anak
yang membawa anaknya ke mesjid. Orang tua seharusnya betul-betul membawa
anak-anak ke mesjid dalam rangka mendidik perilaku santun di mesjid.
Seusai shalat Tarawih, kegiatan Tadarrus Al-Quran menjadi program rutin yang dilakukan oleh jamaah: bapak-bapak, ibu-ibu, maupun remaja. Kegiatan Tadarrus adalah upaya membudayakan membaca Al-Quran secara rutin. Mudah-mudahan bukan sekadar mengejar jumlah khatam dan jumlah ayat yang telah dibaca, tetapi juga bisa memanfaatkan isi Al-Quran sebagai hudan, petunjuk perilaku yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari ummat Islam!
*Foto Jajang Suryana, ASUS Zenfone 3 Laser