“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya
kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam
atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama
kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu
sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia
memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al
Qur-an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al Qur-an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik …..”. (Al-Muzzammil: 20)
Ada sejumlah perhitungan yang bisa diambil oleh manusia sebagai pilihan. Rentangan hitungan seperti duapertiga, setengah, atau sepertiga adalah rentangan pilihan bebas yang bisa dimanfaatkan manusia dalam melaksanakan kegiatan qiyamullail. Perhitungan-perhitungan lainnya yang telah disiapkan oleh Allah agar manusia bisa menetapkan pilihan kualitas pekerjaan ibadarnya bisa ditemukan dalam semua kegiatan pada bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan, sungguh, kerap menjadi bulan yang sangat ditunggu-tunggu. Banyak orang yang sadar betul bahwa pada bulan Ramadhan ini semua amal, seperti yang telah dijanjikan oleh Allah, menjadi sangat berharga. Banyak perhitungan amal yang berlipat ganda nilainya dijanjikan oleh Allah sebagai bahan penarik perhatian bagi manusia. Allah menjanjikan pelipatgandaan nilai kebarkahan amal. Bahkan puncak pelipatgandaan itu, insya Allah akan kita jelang pada Lailatul Qadar. Bisa kita bayangkan: kebaikan yang kita lakukan pada saat itu akan dilipatgandakan pahalanya dalam hitungan pahala kebaikan seribu bulan. Bahkan lebih baik daripada 1.000 bulan. Sedangkan jika kita teliti janji Allah yang lain, pada saat yang lain, selain Lailatul Qadar, Allah juga menjanjikan balasan berupa pahala kebaikan kita dengan lipatganda satuan satu, tiga, tujuh, tujuh puluh, bahkan tujuh ratus.
Selama bulan Ramadhan, orang
cenderung terikat rencana-rencana. Satu hal yang sangat kentara adalah
rencana-rencana terkait dengan perilaku shaum. Seseorang yang akan shaum,
ternyata, secara tradisi telah biasa dengan upaya “pembersihan diri”. Ada tradisi mandi di
sumber air besar seperti laut, danau, sungai, atau kolam. Orang tua-tua zaman
dulu menyebut kegiatan bersih-bersih menjelang masuk bulan Ramadhan itu dengan
sebutan kuramas atau keramas, atau ada juga yang
melaksanakan pembersihan di makam-makam.
Pembersihan diri seperti itu baru sebatas masalah fisik. Padahal Rasulullah
mengajari kita dengan contoh perilaku pembersihan jasmani maupun ruhani.
Sebelum memasuki Ramadhan, kita harus siap dalam kondisi bersih tubuh dan
bersih hati. Caranya, meminta maaf kepada semua orang, terutama yang kerap
berinteraksi dengan kita. Karena, berbagai masalah seringkali timbul dengan
orang-orang yang dekat dengan kita.
Pada Ramadhan
ini, tentu kita juga telah bersiap-siap. Pertama, persiapan sisi psikis, emosi,
nafsu, karena nafsu inilah yang paling besar pengaruhnya kepada keikhlasan
perilaku. Nafsu juga berpengaruh kepada persiapan yang kedua, yaitu persiapan
fisik. Pengaruh nafsu terhadap kesiapan fisik bisa dibandingkan dengan yang
biasa dialami dan menjadi masalah besar bagi para olahragawan. Pengendalian
nafsu menjadi sangat penting. Bershaum sebulan, berarti mengkondisikan diri
untuk menguasai hawa nafsu. Orang yang melaksanakan shaum diharapkan bisa
mencapai kondisi taqwa, yaitu kondisi sehat ruhani sebagai motor penggerak
kehidupan seseorang dan sehat jasmani sebagai perangkat mesin yang akan sangat
dipengaruhi kondisi ruhani. “Shuumuu, tashihhu”, itu kalimat hikmah yang sudah
sangat populer: “Bershaumlah, tentu engkau akan sehat”.
Masa shaum
adalah masa istirahat sementara mesin tubuh kita. Biasanya, pada siang hari,
ketika shaum dijalankan, manusia cenderung memforsir mesin tubuh untuk berbagai
hal yang mengenyangkan isi perut. Begitu pun kepuasan indera yang lain seperti
mata, telinga, dan hidung, cenderung dipenuhi pada saat siang hari. Pada
kenyataannya, tidak ada yang terlalu banyak berubah dalam urusan pemenuhan isi
perut pada bulan Ramadhan ini. Seseorang yang shaum pada siang hari, tetap bisa
memenuhi keperluan kalori tubuhnya pada malam hari. Jadi, secara fisik, hanya
memindahkan waktu makan minum saja. Tetapi efeknya kepada tubuh manusia sangat
kentara. Begitu banyak orang yang dalam keadaan sakit sebelum masa shaum,
kemudia bisa mendapat kesembuhan, setelah sebulan menjalani shaum. Kita harus
yakin kepada aturan yang telah ditentukan oleh Allah. Allahlah yang telah
mengatur kita. Allahlah yang menciptakan kita. Oleh karena itu, apa yang diatur
oleh Allah untuk kita, pasti tidak akan menyimpang dari kebutuhan dan kecocokan
dengan kondisi tubuh manusia. Bahkan, dengan melaksanakan aturan tersebut,
manusia akan mendapat banyak hikmat terkait dengan kepatuhan terhadap aturan
tersebut.
Beberapa hal harus kita
persiapkan selama pembinaan bulan Ramadhan ini. Pertama keteraturan yaitu
ketepatan waktu dan kesinambungan pekerjaan. Pada setiap Ramadhan kita
dibimbing untuk memenuhi ketepatan waktu. Satu contoh dekat misalnya dalam
urusan beta’jil yang diajarkan oleh Nabi kita secara tepat waktu. Kita harus
bersegera membatalkan shaum (: ta’jil artinya bersegera) ketika telah datang
waktu Maghrib. Contoh lain adalah masalah sahur yang harus diakhirkan,
mendekati masa waktu Shubuh. Artinya, ada tuntutan yang harus dipatuhi secara
tepat waktu, bahwa ketika seseorang telah menuntaskan acara makan sahur, tenaga
untuk melaksanakan shalat Shubuh cukup kuat. Tetapi, jika seseorang telah
menyelesaikan makan sahur jauh sebelum datang waktu Shubuh, ada kecenderungan orang
tersebut dibebani tuntutan mata yang mengantuk. Ketika tidur telah dipilih,
beban untuk melaksanakan shalat Shubuh semakin berat, bahkan bisa jadi shalat
Shubuh diterlantarkan, tidak dilaksanakan. Na’udzubillah.
Begitu banyak orang yang telah
jauh-jauh hari mempersiapkan hari kemenangan, Idul Fitri, dengan berbagai
persiapan fisik semata. Baju baru, makanan yang banyak, kendaraan untuk mudik,
dan sebagainya. Sementara itu, persiapan mental untuk memanfaatkan rentangan
bulan Ramadhan yang masih panjang, yang penuh barakah, maghfirah, dan
‘itqumminannaar (kesempatan untuk lepas dari api Neraka), cenderung terlupakan.
Padahal, untuk menyongsong hari kemenangan tidak bisa dengan cara berdiam diri,
tetapi harus mengisi bulan Ramadhan dengan berbagai perilaku Islami yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Memperbanyak membaca Alqur-an dan
meningkatkan pemahamannya, banyak bershadaqah, banyak berdo’a, mengisi malam
Ramadhan dengan ibadat sunnat, adalah beberapa contoh saja yang pernah
dilakukan oleh Nabi kita untuk membeli kemenangan pahala yang lebih baik
daripada perilaku ibadat seribu bulan. Lailatul qadar dan kondisi fitri di
akhir bulan Ramadhan memang perlu dibeli dengan amalan yang banyak dan dawam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar